Di Tenggara... Tekkathiyan (Tekkatthiyan) Di mana pun pergi, kisah ini menyatukan dengan indah— "Tekkanamum Athir Sirandha Dravida Nal Thirunadu"
Di Tenggara... Tekkathiyan (Tekkatthiyan)
Di mana pun pergi, kisah ini menyatukan dengan indah—
"Tekkanamum Athir Sirandha Dravida Nal Thirunadu"
Dari catatan sejarah Indonesia...
Minggu lalu, selama liburan, saya mengunjungi Museum Nasional di Jakarta, ibu kota Indonesia. Saya telah menulis blog tentang catatan sejarah Indonesia, hubungan antara India dan Indonesia, terutama hubungan antara India Selatan dan Indonesia.
NATIONAL MUSEUM, JAKARTA, INDONESIA
Masa pemerintahan Raja Raja Chola I berlangsung dari 985 hingga 1014 M, sedangkan putranya, Rajendra Chola I, memerintah dari 1012 hingga 1044 M.
Ketika saya melihat berbagai patung dan peninggalan arkeologi di museum, pikiran saya berputar ke masa lalu. Saya akhirnya menemukan kisah Raja Airlangga, seorang penguasa besar yang lahir di Bali pada tahun 990 M dan wafat di Candhi Belahan, Jawa Timur, pada tahun 1049 M. Ia lahir sebagai pangeran kecil di Jawa Timur selama era keemasan Chola dan kemudian mendirikan kerajaan Kahuripan, menguasai Jawa Timur dan Bali. Nama "Airlangga" sendiri berarti "air yang melompat" (air = air, langga = melompat), mencerminkan masa kecilnya yang melintasi lautan dari Bali ke Jawa sebelum akhirnya mendirikan kerajaannya.
Airlangga naik takhta dengan gelar "Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa". Ayahnya, Raja Udayana dari Bali, berasal dari Dinasti Warmadewa, sedangkan ibunya, Mahendradatta, berasal dari Dinasti Isyana yang berkuasa di Jawa Tengah. Setelah menikah dengan Raja Bali, ia mendapat gelar "Gunapriya Dharma Patni". Dinasti Isyana yang berkuasa di Jawa Tengah juga memiliki pengaruh hingga Kalimantan Barat dan berkonflik dengan Kerajaan Sriwijaya yang kuat.
Raja Raja Chola menjalin hubungan diplomatik dengan Sriwijaya. Namun, putranya, Rajendra Chola I, melancarkan ekspedisi maritim besar-besaran dan berhasil menaklukkan Sriwijaya. (Sekarang Anda mungkin mulai memahami bagaimana Raja Airlangga terkait dengan politik kerajaan Tamil Selatan.)
Dinasti Isyana, yang berkuasa di Jawa, dipimpin oleh Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa. Pada tahun 990 M, ia melancarkan ekspedisi militer terhadap Sriwijaya untuk merebut Palembang, tetapi gagal. Setelah serangan ini, Raja Sriwijaya, Sri Culamani Varmadeva, menyusun rencana untuk menghancurkan Mataram (kerajaan Dharmawangsa). Ia bekerja sama dengan Raja Wurawari dari Lwaram, yang sebelumnya merupakan bawahan Mataram.
Dharmawangsa berusaha memperkuat aliansi dengan mengatur pernikahan antara Airlangga dan putri pamannya. Namun, selama upacara pernikahan di istana Watan Mas (ibu kota Mataram), serangan mendadak dari pasukan Lwaram menghancurkan kerajaan Mataram. Dharmawangsa dan hampir seluruh keluarganya tewas, sementara Airlangga yang saat itu berusia 16 tahun berhasil melarikan diri ke hutan bersama pengawalnya, Narottama.
Selama 13 tahun, Airlangga hidup sebagai pertapa di Gunung Wanagiri (Wonogiri). Pada tahun 1019, ia mengumpulkan dukungan dari para pengikut setia Dinasti Isyana dan mulai menyatukan kembali wilayah yang dulunya dikuasai Mataram. Setelah mengalahkan kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi sekutu Sriwijaya, ia mendirikan Kerajaan Kahuripan dan mengamankan perdamaiannya dengan Sriwijaya.
Namun, tanpa menunjukkan perasaan pahit di hatinya, ia menunggu saat yang tepat. Tujuannya hanyalah memperluas kerajaannya. Kerajaan baru yang didirikan oleh Airlangga disebut Kerajaan Kahuripan.
Dengan demikian, pada saat itu, di wilayah maritim Indonesia, Sriwijaya yang masih kuat menghadapi kebangkitan Raja Airlangga. Hal ini menciptakan ketegangan dan persaingan di antara mereka.
Sementara itu, kapal-kapal pedagang dari Thanjavur yang hendak berlayar ke Tiongkok harus melewati wilayah Sriwijaya. Sriwijaya terus-menerus menyulitkan para pelaut Tamil dalam berbagai cara. Selain itu, kerajaan ini mulai membebankan pajak yang tinggi pada para pedagang laut Tamil demi meningkatkan pendapatannya berkali-kali lipat. Sriwijaya juga semakin terobsesi dengan ambisi untuk menguasai seluruh kawasan maritim Asia Tenggara.
Pada saat yang sama, Suryavarman I dari wilayah Khmer menjalin hubungan diplomatik dengan Dinasti Chola dari India Selatan pada tahun 1012. Sebagai tanda persahabatan, Suryavarman I mengirimkan sebuah kereta sebagai hadiah kepada Raja Chola, Raja Raja Chola I.
Begitu mendengar tentang aliansi antara Rajendra Chola dan Suryavarman, Kerajaan Tambralinga meminta bantuan dari Raja Sriwijaya, Sangrama Vijayatunggavarman. Konflik ini akhirnya mengarah pada perang antara Kekaisaran Chola dan Sriwijaya. Aliansi antara Dinasti Chola dan Kekaisaran Khmer memenangkan pertempuran dengan sukses, termasuk di Angkor Wat. Perang ini menyebabkan kerugian besar bagi Sriwijaya dan Kerajaan Tambralinga.
Dalam ekspedisi militer Chola, Sriwijaya mengalami kemunduran besar. Kemunduran Sriwijaya ini justru memberikan kesempatan bagi Airlangga untuk memperkuat Kerajaan Kahuripan. Pada saat itu, ia tidak menghadapi campur tangan asing maupun gangguan internal. Selanjutnya, ia memperluas kerajaannya hingga ke Jawa Tengah dan Bali. Pantai utara Jawa, khususnya kota-kota seperti Surabaya dan Tuban, berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting.
Apakah Anda bertanya-tanya mengapa saya mulai dengan kunjungan ke Museum Nasional Jakarta, tetapi kemudian malah terus bercerita tentang sejarah raja-raja?
Salah satu prasasti penting dari masa Airlangga adalah Prasasti Baru, yang saya temukan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti ini bertanggal tahun 1030 M dan ditulis dalam aksara Jawa Kuno. Ditemukan di Surabaya pada tahun 1913 oleh arkeolog Brandes, prasasti ini menggambarkan pemberian tanah bebas pajak kepada sebuah desa bernama Baru sebagai penghargaan atas bantuan mereka dalam perang melawan kerajaan kecil yang bersekutu dengan Sriwijaya.
Prasasti ini berisi perintah raja yang ditujukan kepada Maha Mantri Sri Sanggrama Wijayadharmaprasada Tunggadewi, seorang perempuan yang merupakan putri sulung Airlangga. Ia adalah seorang putri mahkota yang memilih meninggalkan kehidupan kerajaan dan menjadi seorang biksuni Buddha.
Inti dari prasasti ini menyatakan bahwa desa Baru tidak lagi menjadi milik kerajaan, tetapi akan dikelola oleh pejabat desa setempat, dibebaskan dari pajak sebagai balas jasa atas dukungan mereka dalam perang. Ini menunjukkan bagaimana Airlangga menghargai kesetiaan rakyatnya dan menggunakan kebijakan strategis untuk memperkuat kerajaannya.
Seperti yang kita lihat, era Airlangga mencerminkan perkembangan besar dalam bidang sastra, agama, ekonomi, dan pemerintahan. Kisah hidupnya, yang penuh dengan pengkhianatan, pelarian, kebangkitan, dan kebijaksanaan politik, adalah bagian penting dari sejarah maritim Asia Tenggara.
Prasasti Baru mencatat dengan rinci tentang pemberian pembebasan pajak kepada desa bernama 'Baru'. Airlangga adalah seorang raja yang meraih banyak kemenangan. Banyak kerajaan kecil yang bersekutu dengan Kerajaan Sriwijaya menjadi musuhnya. Bahkan hingga kini, pola ini masih terlihat dalam dunia politik. Beberapa kerajaan kecil seperti Vengar, Luwaram, dan Hasin mendukung Sriwijaya untuk memastikan tidak ada kerajaan lain yang bangkit di wilayah timur Jawa. Airlangga memperluas kekuasaannya setelah mengalahkan pasukan ini dalam berbagai pertempuran, termasuk pertempuran melawan Kerajaan Hasin.
Perjalanan kita dalam menelusuri jejak sejarah ini akan terus berlanjut. Masih banyak informasi yang akan kita ungkap tentang para perantau Tamil yang menyeberangi lautan.
Demikianlah, kunjungan saya ke Museum Nasional Jakarta membawa saya lebih dalam ke kisah Airlangga, menghubungkannya dengan sejarah Tamil dan ekspedisi Chola yang mengguncang dunia maritim pada abad ke-11.
கருத்துகள்
கருத்துரையிடுக